Hukum Kemanusiaan Internasional ( Hukum Perang Internasional )
Kamis, 03 April 2014
0
komentar
Banyak yang bilang bahwa perang Israel
dan Palestina diwarnai dengan banyak pelanggaran perang yang dilakukan oleh
Israel, memang apa saja pelanggaran yang dilakukan oleh Israel? Disini saya
ingin share tentang Hukum Kemanusiaan
Internasional yang berisi tentang peraturan
perang dan sanksi-sanksinya. Silahkan temen-temen baca dan kaji apakah
perang Israel Palestina terdapat
pelanggaran atau tidak ?
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Hukum
kemanusiaan internasional, hukum humaniter internasional
(HHI), yang sering kali juga disebut sebagai hukum konflik bersenjata
(bahasa
Inggris: international humanitarian law), adalah
batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi
Jenewa dan Konvensi Den Haag
beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan hukum kebiasaan
internasional yang mengikutinya.
HHI menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang berperang,
negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu
terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya
berarti orang sipil.
HHI adalah
wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam
hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan
kebiasaan, yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Pengadilan Perang
Nuremberg. Dalam pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini
juga menetapkan sejumlah hak permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi
negara-negara yang berperang bila mereka berurusan dengan pasukan yang tidak
reguler atau dengan pihak non-penandatangan. Pelanggaran hukum kemanusiaan
internasional disebut kejahatan perang.
Dalam hukum
kemanusaan internasional, terdapat pemisahan antara konflik bersenjata
internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Pemisahan ini telah
banyak dikritik.
Dua aliran sejarah: Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag
Hukum
Humaniter Internasional moderen terdiri dari dua aliran sejarah: Hukum Den Haag, yang pada
masa lalu disebut sebagai Hukum Perang yang utama (the law of war proper), dan Hukum Jenewa atau Hukum
Humaniter. Kedua aliran ini dinamai berdasarkan tempat diadakannya konferensi
internasional yang merancang perjanjian-perjanjian mengenai perang dan konflik,
terutama Konvensi-konvensi Den Haag
1899 dan 1907 dan Konvensi Jenewa, yang untuk pertama kalinya
dirancang pada tahun 1863. Baik Hukum Den Haag maupun Hukum Jenewa adalah
cabang dari jus in bello, yaitu hukum internasional mengenai
praktik-praktik yang dapat diterima dalam pelaksanaan perang dan konflik
bersenjata.
Hukum Den
Haag, atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban pihak yang
berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan sarana
mencelakai yang boleh dipakai.” Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan
definisi kombatan, menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan
menelaah perihal sasaran militer.
Upaya
sistematis untuk membatasi kebiadaban perang baru mulai berkembang pada abad
ke-19. Keprihatinan atas keganasan perang berhasil mengembangkan perubahan
pandangan tentang perang di kalangan negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad
Pencerahan. Tujuan perang ialah untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut
dapat dicapai dengan melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan
antara kombatan dan orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka
dan tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus
diberikan –yang merupakan sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter moderen–
mengikuti prinsip tersebut.”
Hukum Jenewa
Pembantaian
penduduk sipil di tengah berlangsungnya konflik bersenjata merupakan hal yang
mempunyai sejarah yang panjang dan gelap. Sejumlah contoh dapat dikemukakan,
antara lain: pembantaian kaum Kalinga oleh Ashoka di India; pembantaian sekitar 100.000 orang Hindu oleh
pasukan Muslim Tamerlane; atau pembantaian kaum Yahudi dan Muslim oleh Tentara
Salib dalam Pengepungan Yerusalem (1099). Ini
hanyalah beberapa contoh yang dapat diambil dari daftar panjang dalam sejarah.
Fritz Munch merangkum praktik militer dalam sejarah hingga tahun 1800 dengan
kalimat singkat sebagai berikut: “Hal-hal yang esensial tampaknya adalah
sebagai berikut: dalam pertempuran dan di kota-kota yang berhasil direbut
dengan kekuatan, maka kombatan dan non-kombatan dibunuh dan harta benda
dihancurkan atau dijarah. Pada abad ke-17, Hugo
Grotius, seorang ahli hukum Belanda, menulis, “Tak dapat disangkal bahwa
perang, demi mencapai tujuannya, pasti menggunakan kekuatan dan teror sebagai
cara paling utama.”
Norma-norma Humaniter dalam sejarah
Namun, pun di
tengah berlangsungnya kekejaman perang dalam sejarah, ada sejumlah ungkapan
berupa norma kemanusiaan untuk melindungi korban konflik bersenjata –yaitu
korban luka, korban sakit, dan korban karam– yang berasal dari zaman kuno.
Dalam
Perjanjian Lama, Raja Israel melarang pembantaian tawanan setelah dinasihati
oleh nabi Elisa
agar tawanan musuh diselamatkan. Dalam jawabannya atas pertanyaan Raja, Elisa
berkata, “Engkau tidak boleh membunuh mereka. Apakah orang-orang yang telah
engkau tangkap dengan pedang dan panahmu itu harus engkau bunuh? Beri mereka
roti dan air, supaya mereka bisa makan dan minum dan pergi menemui tuan mereka.”
Di India
zaman kuno, terdapat sejumlah catatan, misalnya Hukum Manu, yang menguraikan
jenis-jenis senjata yang tidak boleh dipakai. “Bila orang berperang dengan
musuh dalam pertempuran, dia tidak boleh menyerang dengan senjata yang
tersembunyi (dalam pepohonan), ataupun dengan senjata yang berduri atau beracun
atau yang ujung-ujungnya menyala dengan api. Ada juga perintah agar tidak
menyerang orang kasim ataupun musuh “yang kedua tangannya berada dalam posisi
memohon ... atau orang yang sedang tidur, atau orang yang sudah kehilangan
pakaian pelindungnya, atau orang yang telanjang, atau orang yang tidak
bersenjata, atau orang yang menonton tanpa ambil bagian dalam peperangan ...”
Hukum Islam
menyatakan bahwa “non-kombatan yang tidak ambil bagian dalam pertempuran
seperti perempuan, anak-anak, rahib dan pertapa, orang lanjut usia, orang buta,
dan orang gila” tidak boleh dilecehkan. Khalifah yang pertama, Abu Bakar,
menyatakan, “Jangan memutilasi (mengudungi; memotong anggota badan). Jangan
membunuh anak kecil atau laki-laki tua atau perempuan. Jangan memotong kepala
pohon palma atau membakarnya. Jangan menebang pohon buah-buahan. Jangan
membantai ternak kecuali untuk makanan.” Ahli hukum Islam berpendapat bahwa
tawanan tidak boleh dibunuh karena dia “tidak dapat dimintai pertanggungjawaban
atas tindakan perang belaka.” Hukum Islam tidak menyelamatkan semua
non-kombatan. Dalam kasus tawanan yang menolak untuk memeluk Islam atau
membayar pajak alternatif, “pada prinsipnya diperbolehkan membunuh siapapun
dari mereka, baik kombatan ataupun non-kombatan, asalkan mereka tidak dibunuh
melalui cara-cara khianat atau melalui mutilasi (pengudungan).”
Kodifikasi Norma Humaniter
Namun, baru
pada paruh kedua abad ke-19 sebuah pendekatan yang lebih sistematis mulai
dilakukan. Di Amerika Serikat, seorang imigran Jerman bernama Francis Lieber
pada tahun 1863 menyusun sebuah kode perilaku bagi pasukan Utara, yang di kemudian
hari dinamai Kode Lieber (''Lieber Code'') untuk
menghormatinya,. Kode Lieber antara lain mengharuskan perlakuan manusiawi bagi
penduduk sipil di daerah konflik dan juga melarang eksekusi tawanan perang.
Pada saat yang bersamaan, keterlibatan sejumlah individu seperti Florence
Nightingale selama berlangsungya Perang
Krimea dan Henry Dunant, seorang pengusaha Jenewa yang menolong
prajurit terluka dalam Pertempuran Solferino, membuat usaha-usaha
mencegah penderitaan korban perang menjadi semakin sistematis. Dunant menulis
buku yang dia beri judul Kenangan Solferino,
yang melukiskan berbagai kengerian perang yang telah dia saksikan itu. Tulisan
Dunant dalam buku ini menimbulkan keguncangan banyak pihak sehingga akhirnya
dibentuklah Komite Internasional Palang Merah
(ICRC) pada tahun 1863 dan, pada tahun berikutnya, 1864, diselenggarakanlah
konferensi di Jenewa yang menyusun Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan
Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka di Darat.
Hukum Jenewa
terinspirasi langsung oleh prinsip kemanusiaan. Hukum ini berkenaan dengan
orang-orang yang tidak ikut serta dalam konflik maupun personel militer yang
hors de combat. Hukum tersebut menjadi landasan hukum bagi kegiatan
perlindungan dan bantuan kemanusiaan yang dilaksanakan oleh organisasi
kemanusiaan yang tidak memihak seperti ICRC. Fokus pada perlindungan dan
bantuan kemanusiaan ini dapat diketemukan dalam Konvensi-konvensi Jenewa.
Konvensi-konvensi Jenewa

Teks Konvensi Jenewa 1864.
Konvensi-konvensi
Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah
tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang
sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata.
Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi
berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan
sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi
ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 1949. Konferensi-konferensi berikutnya
menambahkan sejumlah ketentuan yang melarang metode berperang tertentu dan
ketentuan yang berkenaan dengan masalah perang saudara.
Keempat Konvensi Jenewa adalah:
- Konvensi Jenewa Pertama, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1864 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949)
- Konvensi Jenewa Kedua, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907)
- Konvensi Jenewa Ketiga, “mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949]
- Konvensi Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang” (diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian-bagian tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907)
Selain itu, ada tiga protokol amandemen tambahan
untuk Konvensi-konvensi Jenewa:
- Protokol Tambahan I (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 167 negara.
- Protokol Tamabahan II (1977): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 163 negara.
- Protokol Tambahan III (2005): Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan. Hingga Juni 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 17 negara dan telah ditandatangani tetapi masih belum diratifikasi oleh 68 negara lagi.
Meskipun
Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dapat dilihat sebagai hasil dari proses yang
dimulai pada tahun 1864, dewasa ini konvensi-konvensi tersebut telah “mencapai
partisipasi universal dari 194 negara peserta.” Ini berarti bahwa
konvensi-konvensi tersebut berlaku pada hampir setiap konflik bersenjata
internasional.
Konvergensi Sejarah antara HHI dan Hukum Perang
Dengan
diadopsinya Protokol-protokol Tambahan 1977 untuk Konvensi-konvensi Jenewa
(1977 Additional Protocols to the Geneva Conventions), kedua aliran hukum
tersebut mulai bertemu, meskipun ketentuan-ketentuan yang berfokus pada
kemanusiaan sudah terdapat dalam Hukum Den Haag (yaitu perlindungan tawanan
perang dan orang sipil tertentu di wilayah pendudukan). Namun,
Protokol-protokol Tambahan 1977 mengenai perlindungan korban dalam konflik
bersenjata internasional maupun internal bukan hanya memasukkan ke dalamnya
aspek-aspek dari Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, tetapi juga memasukkan
ketentuan-ketentuan HAM yang penting.
Aturan-aturan dasar HHI
- Orang yang hors de combat dan orang yang tidak ambil bagian dalam permusuhan dilindungi dan diperlakukan secara manusiawi.
- Membunuh atau mencederai musuh yang menyerah atau yang hors de combat adalah dilarang.
- Korban luka dan korban sakit dirawat dan dilindungi oleh peserta konflik yang menguasai mereka. Lambang “Palang Merah” atau “Bulan Sabit Merah” harus dihormati sebagai tanda perlindungan.
- Kombatan dan orang sipil yang tertangkap harus dilindungi terhadap tindakan kekerasan dan pembalasan. Mereka berhak untuk berkorespondensi dengan keluarga dan menerima bantuan kemanusiaan.
- Tak seorang pun boleh dikenai penyiksaan, hukuman badan, ataupun perlakuan yang kejam atau merendahkan martabat.
- Pihak peserta konflik dan anggota angkatan bersenjatanya tidak mempunyai pilihan yang tidak terbatas menyangkut cara dan sarana berperang.
- Pihak peserta konflik membedakan setiap saat antara penduduk sipil dan kombatan. Penyerangan diarahkan hanya terhadap sasaran militer.
Contoh
Contoh yang
terkenal tentang aturan semacam itu antara lain adalah larangan menyerang
dokter atau ambulans yang mengenakan lambang Palang Merah. Merupakan larangan
pula menembak orang atau kendaraan yang mengenakan bendera putih karena bendera
tersebut, yang dianggap sebagai bendera gencatan senjata, menyatakan niat untuk
menyerah atau keinginan untuk berkomunikasi. Dalam kasus yang pertama ataupun
yang kedua, orang yang dilindungi oleh Palang Merah atau bendera putih
diharapkan menjaga netralitas, dan mereka sendiri tidak boleh melakukan
tindakan-tindakan mirip perang (warlike acts). Justru, melakukan
kegiatan perang dengan bendera putih atau lambang palang merah itu sendiri
merupakan pelanggaran atas Hukum Perang.
Contoh-contoh
lain dari Hukum Perang berkenaan dengan: deklarasi perang (Pasal 2 Piagam PBB
1945 dan sejumlah pasal lain dalam piagam tersebut membatasi hak negara anggota
untuk mendeklarasikan perang, seperti halnya Pakta Kellogg-Briand
1928 yang lebih tua dan tidak punya gigi itu membatasi hak tersebut bagi
negara-negara yang meratifikasinya, yang kemudian menggunakan pakta tersebut
terhadap Jerman dalam Persidangan Mahkamah Perang Nuremberg; penerimaan atas
menyerah (surrender) dan perlakuan atas tawanan perang (prisoners of
war); penghindaran kekejaman; larangan menyerang orang sipil dengan
sengaja; dan larangan atas senjata-senjata tertentu yang tidak manusiawi.
Merupakan pelanggaran atas Hukum Perang jika melakukan pertempuran tanpa
memenuhi persyaratan tertentu, antara lain mengenakan seragam pembeda atau
lencana lain yang mudah dikenali dan membawa senjata secara terang-terangan.
Menyamar sebagai prajurit pihak musuh dengan cara mengenakan seragam musuh, dan
bertempur memakai seragam tersebut, adalah dilarang, dan demikian pula
penyanderaan.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC)
ICRC adalah
satu-satunya institusi yang secara eksplisit disebut dalam Hukum Humaniter
Internasional sebagai otoritas kontrol (controlling authority). Mandat hukum
ICRC berasal dari keempat Konvensi Jenewa 1949 dan dari Anggaran Dasarnya
sendiri.
Misi ICRC
“Komite Internasional Palang
Merah (ICRC) adalah organisasi yang tidak memihak, netral, dan mandiri dan yang
misinya ialah misi kemanusiaan semata-mata, yaitu untuk melindungi kehidupan
dan martabat para korban perang dan korban kekerasan internal dan memberi
mereka bantuan. ”
Pelanggaran dan hukuman
Selama
berlangsungnya konflik, hukuman atas pelanggaran Hukum Perang bisa berupa
dilakukannya pelanggaran tertentu atas Hukum Perang dengan sengaja dan secara
terbatas sebagai pembalasan (reprisal). Prajurit yang melanggar
ketentuan tertentu dari Hukum Perang kehilangan perlindungan dan status sebagai
tawanan perang tetapi hanya setelah menghadapi “mahkamah yang berkompeten”
(Konvensi Jenewa III Pasal 5). Pada saat itu, prajurit yang bersangkutan
menjadi kombatan yang tidak sah tetapi dia tetap harus “diperlakukan secara
manusiawi dan, bilamana kasusnya adalah kasus pengadilan, haknya atas
pengadilan yang adil dan reguler tidak boleh dicabut”, karena prajurit yang
bersangkutan masih dicakup oleh Konvensi Jenewa III Pasal 5.
Spion
(mata-mata) dan teroris dilindungi oleh Hukum Perang hanya jika negara yang
menahan mereka berada dalam keadaan konflik bersenjata atau perang dan sampai
mereka didapati sebagai kombatan yang tidak sah. Tergantung pada keadaan yang
ada, mereka bisa dihadapkan pada pengadilan sipil atau mahkamah militer atas
perbuatan mereka dan, pada praktiknya, mereka telah dikenai penyiksaan dan/atau
eksekusi. Hukum Perang tidak menyetujui dan tidak pula mengutuk perbuatan spion
atau teroris karena perbuatan semacam itu berada di luar lingkup Hukum Perang.
Negara yang telah menandatangani Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UN Convention
Against Torture) mempunyai komitmen untuk tidak menggunakan penyiksaan
terhadap siapapun dengan alasan apapun.
Setelah
konflik berakhir, orang yang telah melakukan pelanggaran apapun atas Hukum
Perang, terutama kekejaman, boleh dimintai pertanggungjawaban individual atas kejahatan
perang melalui proses hukum.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Hukum Kemanusiaan Internasional ( Hukum Perang Internasional )
Ditulis oleh Iqbal Fanani
Rating Blog 4 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://iqbalfanani.blogspot.com/2014/04/hukum-kemanusiaan-internasional-hukum.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Iqbal Fanani
Rating Blog 4 dari 5

0 komentar:
Posting Komentar